Selasa, April 14, 2020

Titian Surga Seorang Istri.


Pagi itu, ratih masih ingin bermalas- malasan,  sambil terus melantunkan ayat suci Al-qur,an   juz lima.  Baginya waktu bersama Alquran adalah saat yang menenangkan, makanya dia sering bersungut jika wakunya di ganggu, namun panggilan dari sang pemimpin keluarga  melepaskan genggamannya pada mushap kesayangan  itu.
                “Kopi bu,”  persis sama seperti hari kemarin, Arman,  suara seraknya memanggil Ratih dengan nada datar. Ditemani  sebatang rokok yang sering membuat tenggorokannya kering, dia naikkan kakinya ke atas bagku, menikmati sinar mentari pagi yang hangat. Kepul asap rokok ditiupya agar menghilang,  Ratih sudah sering kali menasehatinya untukk berhenti mengisap barang makruh itu, namun keegoisannya  mengangkasa melebihi suara hatinya sendiri, yang sebenarnya telah tau efek buruk, benda yang tak bosan dibakarnya itu.
                “Aku harus tersenyum menyajikannya”, itu komitmen Ratih pada hatinya sendiri, “kesenangannya adalah aku, sebagai istri, akulah yang bisa menghapuskan rasa lelah dan pusingnya ketika dirumah. Walaupun sedikit keras kepala, tapi dialah sosok pahlawanku ,yang rela banting tulang menapkahi  kebutuhanku dan anak-anak setiap hari. Maka aku harus berbakti kepadanya.”
                “Sarapan apa pagi ini bu?,”
“Ada goreng pisang hangat dan kue bika ambon sisa kemarin yang sudah dihangatkan, “ayah mau, di meja depan sini, atau di meja makan?”  Dengan suara rendah Ratih menawarkan.
“Disini saja, aku ingin melihat matahari pagi .”  Dari teras rumah kebaya gaya betawi itu, matahari menampakkan sinarnya di langit, menyinari hamparan sawah dan pohon kelapa yang masih terlihat luas, di tengah kota tangerang yang hampir separuhnya telah di gusur oleh para kolektor bisnis property.
“Yah, cobalah belajar berhenti merokok, suara ayah sudah tambah berat!  Nanti batuknya kambuh lagi, ingat, umur kita sudah semakin tua,” bujuk Ratih.
“Jangan kau suruh aku berhenti , merokok bagiku seperti mencintaimu, tak bisa berhenti Ratih.”  Suara  berat Arman menggoda istrinya. Sambil terus tersenyum dan menyantap sepotong kue bika ambon kesukaannya.
“Mencintailah karena Alloh ayah, berhentilah merokok karena Alloh, kapan ayah meninggalkan perbuatan yang makruh bahkan mendekati haram. Merokok itu di benci oleh Alloh karena berdampak merusak tubuh manusia, bagaimana ayah mau menyayangiku pada diri sendiri sajah ayan tak sayang, “ tutur Ratih tak pantang menyerah.
“Kau ini paling pandai bicara, apa kau mau cintaku  padamu hilang karena Alloh.” Niat Arman mencandainya berubah menjadi linangan air mata di pipi Ratih,
“Kenapa kau menangis apa ada yang salah dengan ucapanku,” tegur Arman.
“Aku tak ingin ayah menduakan Alloh denganku, Alloh lebih berhak ayah cintai dari pada aku   cintai dulu Alloh dan Rosulnya baru kemudian kau cintai mahluknya.” Arman termangu menatap langit di teras rumahnya, sementara ratih menyeka ait matanya sambil berlalu seraya berdoa Ya Alloh sayangi suamiku.
Keesokan hari, seperti biasa, pukul  07.00 pagi,  tanpa diminta ratih menyuguhkan kopi dan kue bika ambon yang telah dipesannya.
“Ayah tak beli rokok?” Tanya Ratih.
“ Uang kontrakan dan toko beras ayah telah habis untuk membeli cintamu, jadi tak ada lagi uang buat beli rokok, canda Arman  di susul oleh peluk cium  Ratih yang tertawa dengan manja.

               
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih untuk comenrnya dan jangan lupa untuk singgah kembali diblog saya, love you : )