Media ibu &anak TK. Daarussakinah |
Acara reuni di SMP kembali mempertemukan aku dan Dia, seorang teman lamaku yang hobinya menulis. Dia bercerita,disekolahnya dulu Dia suka sekali ikut lomba, dari baca puisi, sampai kaligrafi.
“Lucunya kalau ingat itu,” kenangny, “padahal kemampuanku rata-rata, lebih kepada pede-pedean sajah, polos atau tak punya malu yah, ha ha ha.” Tuturnya.
Tapi menurutku, semangatnya untuk tampil menjadi lebih baik, itulah yang membuat dia selalu berburu ilmu, meski itu tidak lantas dapat menjamin dia menjadi lebih pintar, he he he, dariku. Alamaak sombong kali kau.
“Lawan lomba bagiku, laki-laki atau wanita sama sajah, siapa yang lebih baik, maka dialah juaranya, terlepas dia lebih pintar atau tidak.” Sambil mencari kursi yang lebih nyaman, kami terus bercerita.
“Ikut kegiatan lomba mengajari aku untuk menyadari bahwa manusia punya bakat tersendiri dan kita harus mengasahnya untul hasil lebih baik. Aku memahami itu ketika aku ingin sekali ikut lomba kaligrafi, coba bayangkan!” Aku mengalihkan pandanganku kelangit –langit ruangan sambil tersenyum, untuk menggoda dan menyakinkannya, bahwa aku tertarik pada ceritanya.
“Tulisan teman-temanku jauh lebih baik dariku, karena mereka lebih dulu belajar metode dan gaya menulis khot atau kaligrafi, bahkan diantara mereka ada lulusan pesantren gontor yang terkenal itu, tulisannya sangat bagus. Uh, aku sempat minder, aku bingung, memutuskan untuk ikut terus atau tidak perlombaan itu.”
“lalu bagaimana selanjutnya?” Tanyaku. Sambil tertawa geli, Dia meneruskan ceritanya.
“Aku mengamati semua tulisan peserta yang lain, padahal aku sendiri adalah peserta lomba itu, aku tak langsung mengambil kursi lombaku, aku sedikit minder, aku menyadari bakat menulisku masih kurang, bagaimana nanti jika tulisanku jelek, itu akan sangat memalukan.”
“Eh hmmm.” kuanggukkan wajahku, tanda aku masih setia dengan ceritanya.
“Aku berpikir keras untuk mendapat ide, agar tulisan kaligrafiku lebih baik dari mereka, aku terus mencari, kelebihan apa yang kupunya dan tak ada pada mereka. Semua peserta menggunakan bentuk khot kaligrafi yang sudah baku. Alhamdulillah, Alloh menyayangiku, kutemukan ide untuk membuat tulisan kaligrafiku terbang di atas awan , karena kebetulan aku sedikit pandai melukis.”
“Wow, lalu?.” Tanyaku sedikit penasaran. Dia semakin antusias bercerita.
“Aku coba yakin, kutarik kursiku ditempat duduk paling belakang, aku mulai beraksi menggambar tulisan arab itu seolah terbang di langit, kuhisai dengan awan dan sinar matahari, juga dua ekor burung yang melintas samar. Ku bingkai lukisan itu dengan teliti, agar tak ada noda dan kutarik garis lurus dengan penggaris untuk membingkai. Teman- temanku mulai mengalihkan perhatiannya kepadaku, mereka berkerumun di meja belakang tempatku menulis, aku tak butuh lama untuk mengerjakan itu, karena kaligrafi yang kulukis hanyalah gaya khot bebas tanfa aturan, hanya sajah, warna warni yang kulukis membuatnya seolah menjadi hidup.”
Yah aku ingat sekali , dia memang jago menggambar, saat SMP dulu, kami adalah teman sebangku.
“Semua peserta telah selesai menulis,” lanjutnya.
“setiap karya di temple didinding sekolah. Guruku sebagai juri datang dan bertanya, “ punya siapa itu, khotnya terlihat hidup sekali,” aku hanya terdiam tak menjawab, lalu temanku yang lain serempak menjawabnya, aku tersenyum puas. Meskipun tak jadi juara, masih beruntung ada yang suka, dari pada aku mendapat malu pikirku saat itu, Sementara peserta lomba yang lain menulis dengan rapih dengan gaya khot masing-masing.”
Kusodorkan segelas minuman, karena kulihat dia sering menelan ludah karena haus.
“ Apa akhirnya kau jadi pemenang?” tanyaku kemudian. Dia membenarkan letak kerudungnya sesaat, lalu bercerita kembali.
“Tak disangka setelah seminggu pengumuman namaku dipanggil menjadi juaranya, dari situ aku mulai belajar menghargai siapapun yang punya kelebihan, sebagai karunia Alloh, aku juga bersyukur punya temen baik kayak kamu.” Kami saling menatap dan tersenyum bahagia.
“Lalu bagaimana kegiatanmu sekarang?’ Tanyaku.
“Setelah berumah tangga hasratku akan belajar masih terus mengalir, seiring waktu keadaan terus menyeretku pada suasana, dimana aku mulai mengesampingkan urusan lain. Mengurus anak menjadi pokusku yang utama. Sejak anak pertamaku lahir aku sudah mulai mengurangi diri dari aktipitas luar, aku berhenti dari mengajar yang sudah kumulai sejak gadis.” Wajahnya tampak sedih.
“Sampai anak kedua dan ketiga lahir, tujuh tahun kulalui tanpa kegiatan menulis, kejenuhan mulai menggannggu emosiku, aku mengatur suasana rumahku sendirian, aku mul aisakit-sakitan, mungkin karena pengaruh dari pikiran yang selalu merasa bahwa diri ini kurang manfaat, juga tak ada control social terhdap sikapku. Semakin hari aku semakin jenuh, aku mulai hawatir kejenuhan ini berefek buruk pada sikapku dan perkembangan mental anak-anakku.” Akupun menunjukkan ekspresi wajah penuh hawatir, sambil terus kuanggkkan kepala tanda menyimak, Meski kadang pikiranku berjalan ketempat yang lain.
“Di tahun kedelapan pernikahanku aku memutuskan untuk mulai mengajar kembali, kulalui kesibukan setiap hari dengan bantuan orang tuaku yang selalu mendukung keadaanku. Aku mulai merasakan gairah hidup kembali. Menjadi guru agama di sekolah dasar, seolah menemukan jati diriku kembali, ada tempat bagiku untuk mengamalkan sedikit ilmu yang kupunya, sebab aku takut Alloh mempertanyakannya kelak diakhirat.” Akupun berusaha menyemangatinya,“Bukankah itu pilihan yang baik?” “ Ya.” Jawabnya.
“Waktu terus berjalan sesuai dengan tuntutan kondisi, rumah, keluarga dan profesi , membuat aku menjadi seorang yang lebih tangguh dari sebelummya. Alhamdulillah anak-anakku tumbuh dengan baik dan sehat secara ruhani maupun jasmani. Meskipun sibuk, menulis masih menjadi hobiku yang masih aku lakukan, meskipun jarang-jarang, untuk sekedar mengisi kekosongan waktu dengan tema suka-suka sajah, tak jauh dari apa yang aku rasakan, berkaitan dengan permasalahan pribai dan keseharianku.”
“Aku malah, Cuma nulis diary sajah awalnya,” aku menimpali ucapannya.
“ Dengan alat yang kupunya seadanya, aku mencoba membuat blog untuk menyalurkan hobi. Kusimpan segala yang kusuka di sana dalam bentuk tulisan maupun gambar. Aku berharap tulisan itu kelak bermanfaat untuk anakku, sebagai kenangan, adapun jika ada orang lain membacanya tak mengapa, siapa tau bisa bermanfaat untuk orang banyak. Harapan itu terlalu muluk dan mustahil sepertinya, karena blog yang ku buat hanya blog pribadi yang rendah kwalitas.”
“Tak ada yang tak mungkin kawan, tak ada yang mustahil jika Alloh mengijinkan.” Sahutku menyemangatinya.
“Tak terasa usia kita sudah mulai tua yah,” sahutnya lagi.
“Aku ingat janjiku pada suami.”
“ Oh, Janji apa itu?” Tanyaku.
“Jika usiaku sudah menginjak empat puluh tahun, aku akan berhenti bekerja dan mulai pokus pada anak dan untuk suamiku sendiri tentunya, namun sulit sekali menentukan pilihan antara menepati janji atau terus mengajar dengan mempertahankan penghasilanku sebagai guru, yang tak dapat kupungkiri, menjadi tambahan utama untukku menopang kebutuhan hidupku, aku mencoba untk ikhlas.” Aku hanya mengangguk.
“ Oh iyah, bagaimana kegiatanmu sekarang? Aku saja yang sedari tadi bercerita, ayoo!! Sekarang giliran kamu!” Desaknya.
“Bismillah, diusiaku yang menginjak 43 tahun, akupun tak jauh berbeda denganmu, kukuatkan niat dan tekad untuk berhenti dari mengajar di luar ruamah. Setiap hari aku berdiam diri dirumah, kadang kuluangkan sedikit waktu untuk menulis, sambil sedikit ikut serta menjadi pengasuh di taman kanak-kanak menemani anak-anak bermain, karena gerak tubuhku kini tak lincah lagi, maklumlah paktor usia,” kamipun tertawa bersama.
Rasa lapar membuat kami sejenak berhenti bicara, kami bicara dengan pikiran masing-masing, sambil mengunyah makanan lezat yang khusus disajikan untuk para alumni. Akupun bertekat untuk mulai kembali menata hidupku di usia yang tak lagi muda, dalam hati kubertanya, aku sih siapa? Apa gunanya aku berteman dengan laptop dan HP setiap hari?, menulis kisah cinta dua sejoli yang tak lagi mesra? atau menjadi berlagak kembali muda dengan banyak menulis comen di group wa yang arah bicaranya tidak puguh karuan? aaah tiada guna. Aku harus bangkit, untuk menata hidupku kembali di usiaku yang mulai senja ini.
Ku buka kembali lembaran nasehat guru-guruku, dalam buku alam pikiranku. aku ingat sebuah nasehat , saat dulu aku belajar salah satu buku, “Lihatlah lawan bicaramu, dan bicaralah dengan gaya bahasanya,” Agar ucapanmu bermanfaat dan menarik minat mereka. Kamu mau berdawah, mau berjualan, mau apapun, sampaikan pesan dengan gaya bahasa orang yang kau ajak bicara.”
Ku buang pikiranku yang selalu berkata, “ buat apa menulis, jika pesan yang kau sampaikan tak ada yang membaca.” Pikiran itulah yang selama ini membuatku malas dan berhenti untuk terus menulis.
Selesai makan, kami tak sabar untuk kembali berbagi cerita, banyak sekali hal yang kami ceritakan, dari masalah anak, masakan pavorit, sampai virus corona yang sedang diberitakanpun tak luput dari obrolan kami.
“Apa kau masih suka membuat puisi kawan?” Tanyanya lagi.
“Aku tak pernah bosan berpuisi ria, apa kau masih ingat saat kubuatkan puisi untuk tugas rumahmu yang terlambat, judulnya sahabat, lalu kau menangis saat membacanya,”
“Aku tak pernah akan lupa kawan,” Dia memelukku sambil berkata, “Ceritamu membuat aku terharu kawan.” Kamipun saling berangkulan, “ Jangan lupa untuk singgah kerumahku yah!” Pesannya padaku, untuk kemudian kami saling berpamitan.
Mungkin Alloh menyambut doa-doaku untuk diberi kwalitas kehidupan yang lebih baik, beribadah yang lebih baik dan berteman dengan orang-orang yang lebih baik, agar aku dapat bermanfaat lebih baik meskipun aku tak bisa lagi keluar dari rumah. Dari situlah aku mulai menulis cerita dengan gaya bahasa daerahku yang kusisipi pesan dakwah di dalamnya. Aku tak butuh orang meng like atau tidak like, yang terpenting adalah aku berusaha menyampaikan pesan kebaikan dari dari Alloh sebagai amar ma’ruf dan nahyi mungkar. Juga melepas beban amanah ilmu yang ku punya meskipun sedikit,
“balligu anni walau aayah.” Aku sangat menikmati kegiatanku saat ini.
Dan bagaikan gayung bersambut,
“Mosyan syantik,” itulah nama temanku, Dia mengajakku aku untuk gabung di Komunitas Aktip Menulis lewat WA. WA adalah satu-satunya cara hingga sampai kini aku dan Dia masih terus bersilaturrahim. Alhamdulillah dari sanalah aku mulai menjadi murid baru kembali, dibidang kepenulisan, usia boleh tua tapi semangatku menuntut ilmu tetap muda dan selalu bergairah, tuntutlah ilmu dari buaian sampai keliang lahat,
“bukan begitu?” tanyaku pada diri sendiri. Muali saat ini aku bertekat, tak ada lagi alasan bagiku, untuk tidak menulis,
“Kenapa aku harus tak bisa menulis?” Gumamku, Padahal disana ladang amal yang luas menanti untuk di garap, agar kelak kita dapat menuainya di akhirat. Para cikgu dan mosyan yang syantik- sayantik, di sana selalu siap membimbingku, agar terus menulis untuk berdawah, menulis untuk peradaban islam, menulis li I’la kalimatillah. Love you all anggota WG KAM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk comenrnya dan jangan lupa untuk singgah kembali diblog saya, love you : )